Diakui atau tidak, demam Bitcoin sedang melanda dunia. Cryptocurrency
yang bersifat terdesentralisasi dan tidak diatur atau dijamin oleh
otoritas pusat ini ramai digunakan untuk bertransaksi di berbagai
negara, termasuk Indonesia.
Meski memiliki sejumlah kelebihan
dibanding mata uang "konvensional", Bitcoin bukannya tidak memiliki
risiko. Ada beberapa ancaman yang mengintai para pengguna uang virtual
ini. Salah satunya berkaitan dengan persoalan penyimpanan Bitcoin.
Untuk
bisa membelanjakan Bitcoin, pemilik membutuhkan baris kode khusus
bernama "private key". Baris kode ini disimpan di dalam "wallet" atau
dompet digital. Ketika akan dipakai, barulah pemilik mengakses kode
tersebut dan menggunakannya untuk transaksi.
Private key bisa
disimpan secara lokal di komputer maupun dicetak dengan printer.
Persoalan muncul karena baris kode ini bisa dicuri atau hilang. Apabila
itu terjadi, maka semua Bitcoin yang terasosiasi dengan private key
bersangkutan akan raib selamanya dari tangan pemilik.
Kasus
seperti ini beberapa terjadi dalam beberapa bulan terakhir. Misalnya
peristiwa yang menimpa Inputs.io. Penyedia wallet online tersebut
November lalu dibobol hacker sehingga mengakibatkan para "nasabah" kehilangan Bitcoin senilai 1,2 juta dollar AS.
Private
key yang disimpan dalam "Cold Storage" (komputer atau media penyimpanan
yang tak terkoneksi ke internet) pun memiliki kerentanan tersendiri.
Seorang pria bernama James Howells menyimpan 7.500 Bitcoin dalam wallet
di dalam hard disk komputernya. Ketika hard disk tersebut hilang, Howells terpaksa merelakan uang virtual senilai jutaan dollar tersebut.
Untuk mengurangi risiko itu, CEO Bitcoin Indonesia Oscar Darmawan sedikit berbagi tips.
Pengelola salah satu bursa Bitcoin terbesar di Indonesia ini mengungkapkan bahwa dia membikin print-out
dompet Bitcoin dalam bentuk tercetak. "Lalu, agar aman, cetakan
tersebut kami simpan dalam safety deposit box," kata Oscar ketika
ditemui usai acara gathering Indonesia Bitcoin Community di Jakarta,
Sabtu (18/1/2014) kemarin.
Untuk melindungi wallet online,
password yang kuat bisa digunakan. Dapat pula ditambahi layanan
otentikasi dua-faktor macam Google Authenticator yang seringkali
ditawarkan oleh dompet berbasis web. Backup wallet juga diperlukan untuk
berjaga-jaga terhadap kemungkinan server bermasalah atau komputer/hard disk rusak.
Risiko finansial
Risiko
lain terkait Bitcoin adalah nilai mata uang ini sendiri yang terkenal
sangat fluktuatif. Pada awal Januari 2013, misalnya, Bitcoin dihargai 13
dollar AS per keping (1 BTC). Angka itu meroket ke lebih dari 1.100
dollar AS per keping pada Desember tahun yang sama, lalu terpangkas
menjadi hanya setengahnya (sekitar 500 dollar AS), hanya dalam beberapa
jam setelah pelarangan transaksi Bitcoin di China.
Ini membuat
nilai Bitcoin yang dimiliki menjadi tidak stabil dan menjadi masalah
sendiri bagi pelaku bisnis yang memakai mata uang virtual tersebut.
Harga barang dan nilai uang yang dibayarkan bisa naik atau turun dengan
tajam dalam waktu sangat singkat sehingga berpotensi merugikan salah
satu pihak yang terlibat dalam jual beli.
Tiyo Triyanto dari IBC
mengatakan bahwa salah satu cara mengatasi fluktuasi harga tersebut
adalah dengan memakai penyedia jasa layanan finansial Bitcoin semacam
Artabit. "Pembeli, misalnya, membayar harga barang yang telah ditentukan
dalam bentuk Bitcoin kepada Artabit, sisanya ditangani oleh mereka
sehingga resiko bukan berada di tangan pengguna."
Dengan asumsi
tidak terjadi fluktuasi berlebihan, Bitcoin menawarkan keuntungan
tersendiri untuk bisnis yang memasarkan produk secara online
karena hampir tak ada biaya transaksi untuk pembeli dan penjual.
Begitupun untuk keperluan transfer uang yang dibuat mudah dan murah
dibandingkan mata uang konvensional.
Seperti mata uang atau
komoditas lain, perilaku hoarding atau penimbunan juga terjadi dengan
Bitcoin. Di India dan China, misalnya, angka permintaan Bitcoin terbesar
disinyalir berasal dari spekulan yang mencari untung. Tak menutup
kemungkinan bahwa harga Bitcoin bisa crash apabila sejumlah
besar koin virtual tersebut dilepas dalam satu waktu, terlebih dengan
kondisi Bitcoin saat ini yang banyak disebut sedang mengalami bubble.
Kurang paham
Risiko
lain yang tak kalah penting datang dari kalangan pengguna Bitcoin
sendiri, yaitu kurangnya pemahaman mengenai sifat dan cara kerja
cryptocurrency ini.
Oscar mengatakan bahwa dia menangkap gejala
adanya orang yang nekat berinvestasi di Bitcoin tanpa didukung
pengetahuan yang memadai. "Kami mendapat permintaan beli sejumlah
Bitcoin, tapi setelah itu pembelinya mengontak dan baru bertanya apa itu
Bitcoin," jelas Oscar. Dalam kasus tersebut, dia menerangkan bahwa
pihaknya biasanya menolak transaksi agar tak disebut "menawarkan jalan
pintas menjadi kaya".
Banyak yang mengalami kerugian karena
menanam modal di Bitcoin walau sebenarnya tak memahami mata uang
tersebut. "Mereka tak tahu kapan harus beli, jual, dan sebagainya.
Sebelum investasi, memang mutlak mengetahui seluk-beluk investasi
tersebut," kata Oscar lagi.
Bitcoin memang bisa diperoleh melalui "penambangan" atau mining.
Tapi cara tersebut terbilang sangat lamban menghasilkan Bitcoin bagi
kebanyakan pengguna biasa. Mereka yang ingin cepat memperoleh Bitcoin
bisa langsung membeli lewat exchange sesuai kurs yang berlaku, namun ini berisiko tinggi mengingat fluktuasi nilai yang bisa sangat ekstrim.
Agar lebih aman, Oscar menyarankan investor pemula Bitcoin agar memakai uang yang memang sudah disiapkan agar expendable. "Jangan pakai uang untuk belanja, nanti pusing," katanya.
Bitcoin
sendiri bukan satu-satunya cryptocurrency yang beredar di dunia. Saat
ini tersedia puluhan mata uang digital sejenis yang popularitas dan
nilai masing-masingnya bervariasi. Beberapa nama yang sering disebut
antara lain Litecoin, Ripple, Dogecoin, dan Coinye West yang dituntut
atas pelanggaran merek dagang oleh artis Hip-hop Kanye West.Diakui atau tidak, demam Bitcoin sedang melanda dunia. Cryptocurrency
yang bersifat terdesentralisasi dan tidak diatur atau dijamin oleh
otoritas pusat ini ramai digunakan untuk bertransaksi di berbagai
negara, termasuk Indonesia.
Meski memiliki sejumlah kelebihan
dibanding mata uang "konvensional", Bitcoin bukannya tidak memiliki
risiko. Ada beberapa ancaman yang mengintai para pengguna uang virtual
ini. Salah satunya berkaitan dengan persoalan penyimpanan Bitcoin.
Untuk
bisa membelanjakan Bitcoin, pemilik membutuhkan baris kode khusus
bernama "private key". Baris kode ini disimpan di dalam "wallet" atau
dompet digital. Ketika akan dipakai, barulah pemilik mengakses kode
tersebut dan menggunakannya untuk transaksi.
Private key bisa
disimpan secara lokal di komputer maupun dicetak dengan printer.
Persoalan muncul karena baris kode ini bisa dicuri atau hilang. Apabila
itu terjadi, maka semua Bitcoin yang terasosiasi dengan private key
bersangkutan akan raib selamanya dari tangan pemilik.
Kasus
seperti ini beberapa terjadi dalam beberapa bulan terakhir. Misalnya
peristiwa yang menimpa Inputs.io. Penyedia wallet online tersebut
November lalu dibobol hacker sehingga mengakibatkan para "nasabah" kehilangan Bitcoin senilai 1,2 juta dollar AS.
Private
key yang disimpan dalam "Cold Storage" (komputer atau media penyimpanan
yang tak terkoneksi ke internet) pun memiliki kerentanan tersendiri.
Seorang pria bernama James Howells menyimpan 7.500 Bitcoin dalam wallet
di dalam hard disk komputernya. Ketika hard disk tersebut hilang, Howells terpaksa merelakan uang virtual senilai jutaan dollar tersebut.
Untuk mengurangi risiko itu, CEO Bitcoin Indonesia Oscar Darmawan sedikit berbagi tips.
Pengelola salah satu bursa Bitcoin terbesar di Indonesia ini mengungkapkan bahwa dia membikin print-out
dompet Bitcoin dalam bentuk tercetak. "Lalu, agar aman, cetakan
tersebut kami simpan dalam safety deposit box," kata Oscar ketika
ditemui usai acara gathering Indonesia Bitcoin Community di Jakarta,
Sabtu (18/1/2014) kemarin.
Untuk melindungi wallet online,
password yang kuat bisa digunakan. Dapat pula ditambahi layanan
otentikasi dua-faktor macam Google Authenticator yang seringkali
ditawarkan oleh dompet berbasis web. Backup wallet juga diperlukan untuk
berjaga-jaga terhadap kemungkinan server bermasalah atau komputer/hard disk rusak.
Risiko finansial
Risiko
lain terkait Bitcoin adalah nilai mata uang ini sendiri yang terkenal
sangat fluktuatif. Pada awal Januari 2013, misalnya, Bitcoin dihargai 13
dollar AS per keping (1 BTC). Angka itu meroket ke lebih dari 1.100
dollar AS per keping pada Desember tahun yang sama, lalu terpangkas
menjadi hanya setengahnya (sekitar 500 dollar AS), hanya dalam beberapa
jam setelah pelarangan transaksi Bitcoin di China.
Ini membuat
nilai Bitcoin yang dimiliki menjadi tidak stabil dan menjadi masalah
sendiri bagi pelaku bisnis yang memakai mata uang virtual tersebut.
Harga barang dan nilai uang yang dibayarkan bisa naik atau turun dengan
tajam dalam waktu sangat singkat sehingga berpotensi merugikan salah
satu pihak yang terlibat dalam jual beli.
Tiyo Triyanto dari IBC
mengatakan bahwa salah satu cara mengatasi fluktuasi harga tersebut
adalah dengan memakai penyedia jasa layanan finansial Bitcoin semacam
Artabit. "Pembeli, misalnya, membayar harga barang yang telah ditentukan
dalam bentuk Bitcoin kepada Artabit, sisanya ditangani oleh mereka
sehingga resiko bukan berada di tangan pengguna."
Dengan asumsi
tidak terjadi fluktuasi berlebihan, Bitcoin menawarkan keuntungan
tersendiri untuk bisnis yang memasarkan produk secara online
karena hampir tak ada biaya transaksi untuk pembeli dan penjual.
Begitupun untuk keperluan transfer uang yang dibuat mudah dan murah
dibandingkan mata uang konvensional.
Seperti mata uang atau
komoditas lain, perilaku hoarding atau penimbunan juga terjadi dengan
Bitcoin. Di India dan China, misalnya, angka permintaan Bitcoin terbesar
disinyalir berasal dari spekulan yang mencari untung. Tak menutup
kemungkinan bahwa harga Bitcoin bisa crash apabila sejumlah
besar koin virtual tersebut dilepas dalam satu waktu, terlebih dengan
kondisi Bitcoin saat ini yang banyak disebut sedang mengalami bubble.
Kurang paham
Risiko
lain yang tak kalah penting datang dari kalangan pengguna Bitcoin
sendiri, yaitu kurangnya pemahaman mengenai sifat dan cara kerja
cryptocurrency ini.
Oscar mengatakan bahwa dia menangkap gejala
adanya orang yang nekat berinvestasi di Bitcoin tanpa didukung
pengetahuan yang memadai. "Kami mendapat permintaan beli sejumlah
Bitcoin, tapi setelah itu pembelinya mengontak dan baru bertanya apa itu
Bitcoin," jelas Oscar. Dalam kasus tersebut, dia menerangkan bahwa
pihaknya biasanya menolak transaksi agar tak disebut "menawarkan jalan
pintas menjadi kaya".
Banyak yang mengalami kerugian karena
menanam modal di Bitcoin walau sebenarnya tak memahami mata uang
tersebut. "Mereka tak tahu kapan harus beli, jual, dan sebagainya.
Sebelum investasi, memang mutlak mengetahui seluk-beluk investasi
tersebut," kata Oscar lagi.
Bitcoin memang bisa diperoleh melalui "penambangan" atau mining.
Tapi cara tersebut terbilang sangat lamban menghasilkan Bitcoin bagi
kebanyakan pengguna biasa. Mereka yang ingin cepat memperoleh Bitcoin
bisa langsung membeli lewat exchange sesuai kurs yang berlaku, namun ini berisiko tinggi mengingat fluktuasi nilai yang bisa sangat ekstrim.
Agar lebih aman, Oscar menyarankan investor pemula Bitcoin agar memakai uang yang memang sudah disiapkan agar expendable. "Jangan pakai uang untuk belanja, nanti pusing," katanya.
Bitcoin
sendiri bukan satu-satunya cryptocurrency yang beredar di dunia. Saat
ini tersedia puluhan mata uang digital sejenis yang popularitas dan
nilai masing-masingnya bervariasi. Beberapa nama yang sering disebut
antara lain Litecoin, Ripple, Dogecoin, dan Coinye West yang dituntut
atas pelanggaran merek dagang oleh artis Hip-hop Kanye West.
Sabtu, 25 Januari 2014
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar